I.
LATAR
BELAKANG
Dewasa
ini kekerasan terhadap perempuan semakin lama menunjukan angka yang semakin
tinggi. Juni 2009 Pusat Krisis Terpadu Untuk Perempuan dan Anak RS Cipto Mangun
Kusumo, Jakarta mencatat 5180 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Dari
angka tersebut pihak RSCM mengatakan 48,8 persen adalah kasus kekerasan
seksual, sedangkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sekitar 28 persen
dan kasus perkosaan 10,8 persen[1]. Tidak hanya di Indonesia,kekerasan terhadap perempuan
juga menjadi isu yang serius didunia. Trafficking adalah salah satu
permasalahan yang termasuk dalam kekerasan seksual bagi perempuan .Laporan dari UNAFEI ( 2004 ) mencatat
setengah dari jumlah perdagangan didunia adalah perempuan dan anak dengan
jumlah 200.000 – 225.000 pertahun[2]. Perdagangan perempuan dan anak secara umum
memiliki tujuan untuk mengeksploitasi seksual ( itulah mengapa Traffiking masuk
ke dalam kekerasan seksual) . mereka yang diperjualbelikan adalah untuk
kepentingan industri seks (Prostitusi), pornografi dan juga berbagai
kepentingan lain yang mengabaikan kepentingan korban. Mereka sudah tidak lagi
diperlakukan sebagai manusia akan tetapi lebih sebagai komoditas dan ATM bagi
yang menindas.
Industri Seks
/ Prositusi akhirnya mau tidak mau menjadi sorotan , karena dari prostitusi
inilah yang menghasilkan banyak kontroversi. Prostitusi dianggap sebagai suatu
penyimpangan sosial, dimana perempuanlah yang menjadi korban ganda, sebagai
pelaku dan juga sebagai objek. Disebut sebagai penyimpangan sosial dikarenakan
terjadinya hubungan heteroseksual yang tidak legal ( tidak dalam ikatan
pernikahan). Prostitusi terlihat seperti hubungan simbiosis mutualisme dari dua
seks, laki-laki mendapat kepuasan biologis, perempuan mendapat kepuasan materi.
Prostitusi bukanlah suatu permasalahan baru karena sudah ada sejak jaman
dahulu, dimana perempuan sudah direndahkan martabatnya sebagai perempuan yang
melayani laki-laki. Dikarenakan wanita
sebagai simbol keindahan, maka setiap yang indah biasanya menjadi target pasar
yang selalu dijadikan komoditi yang mampu menghasilkan uang. Itulah sebabnya
kenapa wanita selalu ada saja yang mengumpulkan dalam suatu tempat dan berusaha
“dijual” kepada siapa saja yang membutuhkan “jasa sesaat”nya[3].
Industri seks berkembang dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan jaman.
Jika dahulu prostitusi itu dilakukan di suatu tempat tersendiri atau
lokalisasi, dengan harus datang langsung ke tempat tersebut untuk melakukan
pilihan dan transaksi, pada tahun yang lebih modern tahun 2000, telepon selular
sudah memasuki jaman awal perkembangannya, hingga tahun 2005 terus berkembang
luas. Tidak perlu mendatangi lokalisasi untuk bertransaksi karena telepon
selular telah menjadi solusi. Dan sekarang tahun 2010 dunia maya menjadi
sasaran germo untuk meningkatkan pundi-pundi uangnya. Prostitusi lewat internet
akhirnya menjadi trend, hingga terkuaknya kasus prostitusi lewat jaringan
sosial. SATUAN Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya
membongkar prostitusi yang menggunakan jaringan internet untuk bertransaksi dan
menangkap satu tersangka. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Boy
Rafli Amar di Jakarta, Senin (15/2), menjelaskan, tersangka bernama YD (33)
diduga mengelola prostitusi di laman www.deliveryjakarta.com dan laman pribadi www.deddymanagement.multiply.com.[5].
Dengan
maraknya prostitusi lewat jejaring sosial, ini akan mempermudah laki-laki untuk
memanggil perempuan penghibur ,bertransaksi dan melakukan percintaan mereka
tanpa ketahuan tetangga, keluarga atau rekan kerja. Karena semua itu dilakukan
lewat dunia maya dan via telepon. Maka semkin banyak pula prostitusi yang tidak
terlihat dan tidak terlacak. Secara pidana perbuatan mengenai praktik
prostitusi yang dilakukan melalui media internet dapat dikenakan Pasal 27 angka
1 Undang-Undang No. 11. Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dikarenakan perbuatan praktik prostitusi yang dilakukan melalui media internet
telah memenuhi unsur-unsur dari pasal tersebut. Sanksi pidana yang diberikan
sesuai dengan Pasal 27 angka 1 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dijelaskan pada pasal Pasal 45 Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik[6].
Walaupun sudah diatur sedemikian rupa, akan tetapi sepertinya itu tidak
menjadikan niatan perempuan penghibur dan germo itu surut untuk melanjutkan
profesinya. Jika seorang germo itu adalah suatu pekerjaan yang menjanjikan , mudah
dan menguntungkan, maka itu bukan berarti menyenangkan pula bagi perempuan yang
bekerja bersamanya. Perempuan yang menjadi komoditas sering kali menjadi objek
yang bisa diperlakukan semaunya oleh laki-laki. Disinilah kekerasan seksual
muncul, keterpaksaan untuk melakukan seks bebas , berhubungan heteroseksual
dengan orang yang baru dikenal, dan teraniaya dalam keterpurukan diCap menjadi
perempuan “ yang tidak benar”. Akan tetapi, disatu sisi kita bisa melihat
perempuan sebagai objek kekerasan seksual dan menjadi pihak yang tertindas,
namun disisi yang lain ada pula perempuan yang menikmati profesinya sebagai
perempuan penghibur. Sehingga banyak perempuan yang terus melancarkan aksinya
untuk bisa menghasilkan uang sebanyak-banyaknya dengan cara yang dianggapnya
mudah. Jadi tidak heran jika satu kasus prostitusi terselesaikan maka akan
muncul kasus prostitusi yang lain
II.
PERUMUSAN MASALAH
Setelah
kasus tersebut terungkap, tentunya akan menjadi peringatan tersendiri pada
pelaku prostitusi lewat dunia maya itu. Bagaimanapun juga prostitusi
merupakan penyimpangan sosial yang
sampai sekarang masih bersifat ilegal. Akan tetapi prostitusi masih terus
berkembang dan semakin fresh karena mengikuti perkembangan zaman. Dengan
kondisi semacam itu yang menjadi masalah utama adalah bagaimana posisi perempuan yang melakukan praktek prostitusi tersebut?
Karena selama ini dalam pandangan masyarakat prostitusi adalah “jelek”. Perlu
dipertanyakan lagi, apakah perempuan
yang melakukan prostitusi itu atas kehendaknya sendiri atau malah dia menjadi
korban kekerasan seksual, yang terus menambah angka kekerasan terhadap
perempuan?
III.
PERSPEKTIF TEORITIS
Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, penulis akan menganalisanya dalam dua perspektif , yang
pertama adalah pandangan dari feminis marxis, dan kemudian yang kedua adalah
feminis eksistensialis.
IV.
PEMBAHASAN
Kekerasan
adalah perilaku atau perbuatan yang terjadi dalam relasi antar manusia yang
dirasa oleh satu pihak sebagai situasi yang membebani dan tidak bebas yang
berakibat pada sakit baik secara fisik ataupun mental. Kekerasan ini sering
terjadi pada perempuan, hal ini dikarenakan masyarakat menciptakan sistem
patriarki yang berakibat atau berdampak bagi perempuan. Klasifikasinya (Getar
Gender 2004) adalah:
1.
Kekerasan karena kekuasaan
sex : pelecehan sex, perkosaan, kawin
kontrak
2.
Kekerasan karena kekuasaan
kekuatan : pemukulan, aniaya, sekap, bunuh, culik, kontrol badan
3.
Kekerasan karena kekuasaan
psikologis : emosi laki-laki, melindungi berlebihan, penghinaan kemampuan
perempuan.
4.
Kekerasan karena kekuasaan
sosial : merendahkan kedudukan perempuan dimasyarakat ( harus ijin dengan
laki-laki, memilih teman)
5.
Kekerasan karena kekuasaan
ekonomi : jalan belanja, upah rendah, tidak dapat tunjangan keluarga
6.
Kekerasan karena kekuasaan
rohani : aturan agama yang memojokan melecehkan, menindas, merapuh, melemahkan
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, “Prostitusi” mengandung makna suatu
kesepakatan antara lelaki dan perempuan untuk melakukan hubungan seksual dalam
hal mana pihak lelaki membayar dengan sejumlah uang sebagai kompensasi
pemenuhan kebutuhan biologis yang diberikan pihak perempuan, biasanya dilakukan
di lokalisasi, hotel dan tempat lainnza sesuai kesepakatan.Sedangkan secara
etimologis prostitusi berasal dari bahasa Inggris yaitu “Prostitute /
prostitution” yang berarti pelacuran, perempuan jalang, atau hidup
sebagai perempuan jalang. Sedangkan dalam realita saat ini, menurut kaca mata
orang awam prostitusi diartikan sebagai suatu perbuatan menjual diri dengan
memberi kenikmatan seksual pada kaum laki-laki.
Prostitusi
masuk ke dalam kekerasan karena kekuasaan sex, yang diawali oleh kekerasan
karena kekuasaan kekuatan dan juga kekerasan karena kekuasaan ekonomi sebagai
akibat dari sistem masyarakat yang hierarki , yang satu berpotensial untuk
menindas yang lain menjadi korban. Bagi korban biasanya diawali dengan kondisi
ekonomi buruk yang dialami oleh perempuan.
Faktor
ekonomi adalah faktor dominan yang mendasari wanita memilih untuk melakukan
prostitusi. Hal ini disebabkan masih minimnya lapangan pekerjaan yang aman bagi
wanita. Dengan pendidikan yang minim dan banyaknya kebutuhan yang mendesak
membuat wanita rela melakukan prostitusi. Apabila laki-laki itu lebih mudah
untuk mendapatkan pekerjaan karena maskulinitasnya, maka ini akan menjadi sulit
bagi wanita. Sebenarnya tidak ada jenis kelamin dalam suatu profesi. Tukang
bangunan , pengantar air isi ulang, pekerjaan bengkel, penambal ban, dan
pekerjaan lain yang didominasi oleh laki-laki bisa dilakukan oleh perempuan.
Akan tetapi karena kontruksi sosial dari masyarakat yang “ melemahkan” wanita,
pada akhirnya wanita terpojokkan . Pekerjaan yang bisa dilakukan dengan
terpaksa inilah yang sanggup menghidupi wanita pelaku prostitusi.
Berikut contoh yang
diambil dari Facebook :
Disana
tertulis “ mahasiswi butuh uang, melayani 24 jam”. Kata-kata “ butuh uang”
mengisyaratkan bahwa materi sangat penting bagi mereka, Lain halnya dengan
contoh dari friendster berikut:
Tulisan yang ditunjuk
dengan panah adalah "tlp aq
021-xxxxxx bagi yg berminat N yg serius aj ;) gk boleh tlp lebih dr jm 12 mlm
st 700rb/2 jm" [7]
Wanita ini
justru langsung menunjukan tarif
Rp 700.000,- tiap dua jam. Ini berarti uang menjadi hal yang krusial. Lagi –lagi “materi” lah yang ingin dicapai. Oleh karena itu bisa kita simpulkan bahwa faktor ekonomi adalah faktor utama yang dicari oleh pelaku prostitusi.
Rp 700.000,- tiap dua jam. Ini berarti uang menjadi hal yang krusial. Lagi –lagi “materi” lah yang ingin dicapai. Oleh karena itu bisa kita simpulkan bahwa faktor ekonomi adalah faktor utama yang dicari oleh pelaku prostitusi.
Pada tahun
1870an dan 1880an feminisme dengan corak lain muncul, fokus pada menjembatani
pemisahan antara istri yang punya kehormatan kebangsaawanan dan perempuan
penghibur yang terbuang secara sosial. “ tak
ada perbedaaan yang sungguh-sungguh antara keduanya, kecuali, perbedaan
ekonomi, sehingga menjadikan istri dan perempuan penghibur sama-sama melayani
laki-laki namun dengan basis yang berbeda[8].
Berusaha untuk menyamakan kedudukan, dan membedakan pada sebutanya saja, bahwa
hakekatnya sama antara perempuan yang bekerja atau memiliki profesi yang lain
dibandingkan dengan perempuan penghibur. Mereka sama-sama mencari uang untuk
tidak bergantung pada laki-laki.
Kondisi
seperti ini bisa dimanfaatkan oleh sang germo yang berpura-pura sebagai dewa
penolong, tapi pada akhirnya perempuan itu masuk kedalam dunia prostitusi yang
kejam. Ini adalah campur tangan dari orang dewasa ( germo, famili, saudara,
orang tuanya sendiri). Sebelumnya didahului kasus penipuan, penyekapan dan
penculikan. Kalau anak sudah masuk kedalam dunia prostitusi maka akan sulit
untuk keluar. Karena mereka dalam struktur dibawah kekuasaan germo atau
mucikari. Derita traffickingpun bukanlah hal yang mengenakan ,jika melarikan
diri akan dipukul rotan, dan disterika, jika haid membayar denda, jika hamil
anaknya dijual, dikurung tanpa diberi makan[9].
Berikut
adalah contoh berita yang memuat tentang “Prostitusi Anak di facebook, Modus
Lama”
Komnas Anak saat ini sedang menangani 11 ABG
korban prostitusi lewat internet.
Senin, 1 Februari 2010, 10:28 WIB
Elin Yunita Kristanti
VIVAnews - Kejadian memprihatinkan diungkap di Surabaya,
Jawa Timur. Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya mengungkap prostitusi anak
baru gede (ABG) lewat laman jejaring sosial, facebook.Sekitar 25 foto ABG
berusia 15-16 tahun dipajang di facebook untuk dijajakan. Lalu, para pria
hidung belang melakukan transaksi dengan mucikari, lewat chatting. Sekretaris
Jenderal Komnas Perlindungan Anak, Aris Merdeka Sirait, mengatakan prostitusi
anak melalui dunia maya, sebenarnya modus lama. "Dengan chatting, pertama
dimanfaatkan para remaja untuk saling kenal, lalu kemudian mereka
bertransaksi," kata Aris ketika dihubungi VIVAnews,
Senin 1 Februari 2010. Kemunculan facebook, dan laman jejaring sosial lain
semisal, Twitter dan Friendster makin memudahkan proses transaksi tersebut.
"Facebook mempermudah, karena bisa dilihat seperti apa gambar dan fotonya
secara jelas. Sebelumnya, lewat chatting hanya digambarkan ciri-ciri
fisiknya," tambah dia. Ditambahkan dia, saat ini Komnas Perlindungan Anak
sedang menangani 11 ABG korban chatting. Para ABG ini secara tak sadar
terperosok dalam prostitusi. "Modusnya, awalnya pelaku menjadi teman
chatting, korban ditipu dan dirayu, hingga akhirnya mau bertemu dan melakukan
hubungan seks dengan pelaku," jelas Aris. Ketika melakukan hubungan itu,
korban difoto. "Korban lalu diminta melayani orang lain, jika tak mau,
diancam foto-fotonya akan disebar. Ini murni kriminal dan melibatkan
jaringan," lanjut Aris. Oleh jaringan prostitusi ini, Korban ini juga
diminta membujuk teman-temannya. Prostitusi anak ini bahkan menyebar sampai ke
Batam.[10]
Laki-laki
sebagai germo memanfaatkan wanita sebagai mesin ATMnya. Penipuan yang dilakukan
dengan cara memaksa melakukan dan menyimpan foto hasil hubungan seks tersebut
adalah tindakan dari keseluruhan tindak kekerasan yang dilakukan laki-laki
terhadap wanita.
Feminisme Marxis
Feminisme
Marxis memandang kekerasan terhadap perempuan adalah berasal dari eksploitasi
kelas dan cara produksi. Perempuan jatuh dan lemah akibat tertindas tidak
memiliki kekayaan pribadi. Sedangkan yang memiliki kekayaan pribadi adalah
laki-laki. Laki-laki yang memiliki kekayaan pribadi berarti berhak atas
kekuasaan terhadap perempuan. Seperti halnya laki-laki yang memiliki uang untuk
membayar wanita pelaku prostitusi. Melakukan tawar-menawar harga atas jasa
wanita penghibur dan pelepas hasrat laki-laki. Yang memiliki uang maka dia yang
akan “menyetir” kehidupan. Penderitaan wanita penghibur belum cukup sampai
disitu saja, akan tetapi pandangan masyarakat yang buruk tentang “ prostitusi “
itu sendiri membuat semakin terpojokan. Wanita penghibur akan di asingkan,
dicemooh, dihina, dilecehkan baik secara fisik ataupun mental.
Sesuai dengan
sistem patriarki , perempuan hanya dijadikan objek yang bisa diperlakukan apa
saja oleh si subjek. Kalau wanita dijadikan objek maka , dia sama saja
dikalahkan oleh pihak pria. Seperti barang yang bisa diperlakukan semau kita.
Objek adalah alat, subjek adalah pelaku. Jika objek adalah alat maka dalam
prostitusi sesuai pandangan marxisme wanita adalah objek atau alat yang
digunakan untuk pemuas nafsu laki-laki. Dan subjek ( laki-laki ) bisa
sekehendaknya melakukan apa yang dia inginkan. Melakukan seks dengan gaya
apapun yang dilakukan oleh laki-laki, dimanapun tempat yang diinginkan oleh
laki-laki. Entah hubungan seks tersebut kasar atau menyiksa wanita penghibur,
hal tersebut tidak menjadi masalah yang dipikirkan oleh subjek. Yang pasti
adalah objek sudah dibayar dan bagaimanapun caranya subjek harus puas dengan
harga yang dibayar tersebut.
Kedudukan
wanita prostitute didalam hukum pun masih diskriminatif. Hukum yang mengkriminalisasi wanita penghibur
sudah menjadi perbincangan dan kritikan dari para feminis sejak dulu. Jika
wanita prostitute sering dikejar-kejar oleh petugas “ kamtib “. Tapi ini tidak
terjadi pada pekerja seks berjenis kelamin laki-laki. Laki-laki bisa melarikan
diri dari jeratan hukum, sedangkan wanita ( yang mungkin juga salah tangkap )
mau tidak mau akhirnya mendapat dampak kekerasan lagi. Kekerasan kekuasaan
seperti yang dilakukan oleh petugas kamtib, yaitu pemukulan dan pemojokan
dengan pertanyaan yang menyudutkan pula. Pertanyaan seperti “ mengapa melakukan
prostitusi? Kenapa sudah dilarang masih melakukan? Apa kamu tidak beragama? Apa
kamu tidak beradat dan tidak bermoral ? dan lain sebagainya“ jika dijawab oleh
wanita itu “ tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan, sedangkan saya
memiliki kebutuhan banyak yang mendesak” maka wanita akan dikatakan malas dan
tidak tahu malu ( kekerasan psikologi ).
Belum cukup
sampai disitu, terkadang kamtib malah memberikan tawaran kepada objek ( wanita
) untuk melakukan hubungan seks secara gratis , sehingga objek akan dilepaskan
dari jerat hukum. Dan kemudian ketika lepas akan dikejar-kejar lagi dan
ditangkap lagi dan diberi penawaran hal yang sama. Betapa lebih tidak tahu
malunya subjek yang melakukan hal seperti demikian.
Minimnya
pekerjaan yang layak untuk wanita berpendidikan minim tidak menjadi sorotan
pemerintah. Pemerintah yang tidak memberikan solusi hanya bisa menyalahkan
wanita sebagai biang perusak moral bangsa. Pada saat bulan ramadhan pura-pura
suci dengan menutup semua lokalisasi, kafe remang dan bar. Seharusnya
pemerintah lebih melihat dalam akar permasalahan prostitusi yang dilakukan
wanita. Dengan memberikan penyuluhan gratis, pembekalan kursus gratis (ketrampilan) dan pengarahan yang baik bagi
wanita prostitute.
Feminisme Eksistensialis
Eksistensialis
dalam bahasa inggris berarti keberadaan. Keberadaan perempuan sebagai subjek
dalam dunia nyata sangat sulit diaplikasikan. Peraturan yang mengikat dan
didominasi oleh sistem patriarki selalu menghalangi perempuan berekspresi.
Hingga sampai sekarang perempuan masih saja terkurung dalam kontruksi sosial
yang rapat. Masyarakat memandang
perempuan dengan berbagai perspektif, termasuk dalam hal prostitusi. Perempuan
yang terkait masalah prostitusi selalu diidentikan dengan “ perempuan yang
buruk “. Pandangan masyarakat pada umumnya tentang wanita penghibur adalah
wanita yang tidak bermoral, kootor, pembawa penyakit, penyebab kerusakan
hubungan dalam keluarga dan masih banyak cemoohan lain bagi mereka. Kemudian
perempuan prostitute menjadi merasa bersalah, merasa malu dan tidak percaya
dengan diri sendiri. Perempuan sering didefinisikan oleh masyarakat luas,
padahal perempuan itu lebih bisa mendefinisikan dirinya sendiri daripada
didefinisikan oleh masyarakat, termasuk pendefinisian wanita penghibur.
Kontruksi
sosial masyarakat dalam sistem patriarki memiliki satu indikasi khusus yaitu
sudut pandang laki-laki sebagai penilai. Wanita berjalan, berdandan,
berperilaku, bertindak, berbicara, hampir kesemuanya dilihat, dinilai dan
didefinisikan oleh masyarakat khususnya laki-laki. Wanita beranggapan bahwa
dirinya akan sempurna jika laki-laki menganggapnya sempurna. Wanita dianggap
baik jika masyarakat menganggapnya baik. Kondisi seperti ini membuai wanita dan
menenggelamkanya dalam jurang keterpurukan didalam penilaian yang relatif
terkondisikan. Bagi feminis eksistensialis , keberadaan akan dirinya dalam
suatu masyarakat adalah penting. Dan wanita tidak akan bisa mengeksplorasi
keberadaanya jika masih berada dalam kungkungan hukum yang digeneralisir
apalagi dibuat oleh sudut pandang dari laki-laki saja. Wanita tidak akan pernah
merasa “ berada” jika semua tindak tanduknya diukur dan dibatasi dalam suatu
aturan patriarki yang timpang.
Sama
halnya dengan wanita yang memilih dirinya untuk “ berada” dengan cara menjadi
seorang prostitute. Menjadi prositute adalah cara menunjukan eksistensi sebagai
wanita, yang bisa mengelabuhi laki-laki dan bisa mengontrol laki-laki sesuai
kehendak wanita. Disinilah seorang prostitute merasa dirinya adalah subjek.
Wanita itu
dikutuk untuk bebas, dan bisa menentukan apa yang akan dia kerjakan dan apa
yang dia pilih. Memilih untuk menjadi atau tidak menjadi dan untuk melakukan
atau tidak melakukan. Kutukan berarti suatu hal yang mutlak dan harus terjadi.
Ini berarti wanita wajib untuk memilih apa yang dia inginkan. Prostitusi adalah
sebuah pilihan, bagi mereka yang menjalani prostitusi sebagai pilihan adalah
mengakui kebenaran keberadaan dirinya tanpa harus terikat pada peraturan yang
mengatakan bahwa “ wanita baik “ bukanlah wanita yang melakukan prostitusi.
Prostitusi bagi mereka merupakan gaya hidup dan bagian dari hidupnya yang tidak
bisa dipisahkan.
Sartre
mengatakan , ada 3 cara manusia berada: ( dalam bukunya Being and Nothingness)
1. Etre-en-soi :
Being in itself : manusia ada secara padan atau penuh
2. Etre-pour-soi :
Being for itself : manusia itu bercelah, tidak sempurna
keberadaanya karena manusia dilahirkan umtuk bebas ditandai dengan aktifitas
bertindak
3.
Etre-pour-les autres :
Being for others
: relasi sosial, dimana subjek akan selalu mempertahankan kesubjekannya dan
manusia yang kalah dalam mengobjekan yang lain. Manusia ada untuk dirinya
sendiri. Sepanjang manusia itu sadar, dia memiliki kebebasan untuk memilih,
manusia menentukan apa yang harus dia lakukan.
Untuk cara yang ketiga adalah cara feminis
eksistensialis sangat “mengadakan” dirinya, dimana wanita sebagai subjek adalah
wanita yang bisa mengobjekan yang lain, yaitu wanita bisa “memperlakukan” orang
lain maka dirinya akan merasa benar-benar ada didunia ini. Dan wanita itu ada
untuk dirinya sendiri, bukan untuk menjadi budak bagi orang lain apalagi
menjadi budak laki-laki. Kesadaran adalah hal yang terpenting. Sepanjang
manusia itu sadar, dia memiliki kebebasan untuk memilih, manusia menentukan apa
yang harus dia lakukan. Prostitusi,
memungkinkan perempuan untuk tidak bergantung pada laki-laki karena dengan
penuh kesadaran bahwa prostitusi adalah pilihan untuk mengobjekan laki-laki.
Secara sadar wanita
memilih prostitusi untuk memberdayakan laki-laki sebagai mesin pencetak uang,
walaupun demikian uang bukanlah satu-satunya yang menjadi harapan bagi feminis
eksistensialis. Uang adalah yang dihasilkan dari “ keberadaan” mereka. Bagi
wanita prostitute yang sengaja memilih prostitusi sebagai bagian dari hidupnya.
Uang dari laki-laki bisa dia kendalikan, dengan kepuasan yang dia berikan
sesuai dengan dirinya sendiri dan juga uang yang sesuai dengan transaksi yang
dia inginkan pula. Prostitusi bagi mereka bukan hanya sekedar pekerja seks,
namun lebih dari itu. Wanita yang melakukan prostitusi berarti membebaskan diri
dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki.
Wanita ini
secara sadar melakukan prostitusi bukan karena kesulitan ekonomi, dia melakukanya
secara sadar bahwa prostitusi adalah sebuah bagian dari hidupnya untuk bisa
mengendalikan laki-laki sekehendaknya. Seperti misalnya pada tubuh wanita ,
bagi feminis eksistensialis, tubuh wanita bukanlah objek, tapi bisa menjadi
subjek. Bagaimana cara seorang wanita prostitute berusaha untuk menggoda
laki-laki, meningkatkan dan menurunkan birahi , seks dari laki-laki.
Mengendalikan semua adegan dalam ranjang, karena pada dasarnya kepuasan seks
laki-laki terletak pada kenyamanan diri atas perempuan, dan perempuanlah yang
mengkondisikan. Hal inilah yang membuat feminis eksistensialis benar-benar
menjadi “ada” karena hidup didalam prostitute
Dan inilah
saatnya perempuan mengatakan “ it is she
who has him” : Ini adalah dia Wanita yang memiliki laki-laki. Biasanya
laki-lakilah yang dianggap memiliki wanita, jika dia sudah menjadi pacar
ataupun suami dari wanita itu. Akan tetapi tidak untuk “ eksistensialis
feminis, karena ini adalah saatnya, wanita yang memiliki laki-laki. Hal ini
terdengar sangat aneh , akan tetapi ini adalah kesetaraan . bukan lagi pria
yang berkuasa, bukan lagi patriarki yang mendominasi, akan tetapi ternyata
wanita juga bisa memiliki laki-laki sebagai objeknya.
Laki-laki
bisa di jadikan objek bagi wanita dalam prostitusi. Wanita bisa memainkan
objeknya sesuka hati . Wanita memerankan dirinya sebagai manusia yang memiliki
hasrat dan birahi sama seperti dengan laki-laki ( ini berarti bahwa bukan hanya
laki-laki saja yang memilikinya, akan tetapi wanita juga memiliki, hanya saja
akibat daro kontruksi sosial membuat wanita memendamnya ).
Beauvoir
mengatakan bahwa sebenarnya perempuan itu “powerfull”, akan tetapi dalam dunia
yang nyata , di dalam kehidupan sosial dia “powerless”. Bisa dikalkulasi dari kehidupan
dari seorang Ibu yang memiliki suami dan anak, juga dia bekerja sebagai wanita
karier. Selain wanita memilki energi untuk bekerja, sampai dirumah dia
menyisakan energi untuk mengurus anak dan melayani suaminya. Akan tetapi diluar
sana , wanita yang perkasa ini tetap menjadi powerless.
Pertentangan Kedua Perspektif
Dalam kasus
yang dialami oleh wanita penghibur yang merelakan tubuhnya untuk dinikmati
laki-laki yang tidak diinginkan karena masalah ekonomi, ini menunjukan jelas
bahwa “ tidak ikhlas”nya wanita tersebut dalam menjalankan profesinya sebagai
seorang prostitute. Berarti wanita ini mengalami tindak kekerasan oleh
laki-laki baik secara fisik, mental dan ekonomi. Sedangkan yang dialami oleh
prositute yang menjadikan profesinya sebagai suatu hal yang sangat dinikmati ,
wanita ini merasa aman-aman saja karena dirinya menikmati keberadaanya didalam
tubuh prostitute.
Memang ini
adalah permasalahan yang sangat rumit. Wanita yang sebenarnya menjadikan
prostitute sebagai profesi keterpakasaan memiliki keinginan untuk memilih
profesi yang lain, sedangkan feminis eksistensialis tetap berpegang teguh pada
keyakinanya bahwa prostitute adalah keberadaanya. Pandangan masyarakat terhadap
prostitusi adalah dampak yang sangat dirasakan oleh wanita yang terpaksa
menjadi wanita penghibur. Cemoohan, hinaan, cercaan dari rekan, tetangga, atau
siapapun itu akan menjadi guncangan yang sangat berat. Hal ini berbeda dengan
dampak yang dirasakan oleh feminis eksistensialis. Sebagai prostitute, dirinya
tidak mau dianggap sebagai prostitute rendahan yang mau dibayar seenaknya, akan
tetapi feminis eksistensialis bisa berbangga dengan dirinya yang bisa “tidur”
dengan laki-laki yang diinginkan, atau tidur dengan banyak pria hingga mencapai
sebuah rekor dan baginya itu adalah prestasi.
Masalahnya
menjadi semakin tidak menemui titik terang, karena keduanya saling bertolak
belakang. Wanita yang dengan keterpaksaan selalu berusaha untuk keluar dari
dunia prostitusi dengan jerih payahnya ( akan tetapi tidak berhasil ) agar bisa
mendapat profesi yang sesuai dengan pilihanya ( karena wanita berhak untuk
memilih ) sedangkan fasilitas yang ada tidak bisa memadai dan memberikan
petunjuk untuk bisa hidup lebih baik. Feminis eksistensialis masih seru dengan
profesi yang dinikmatinya, akan tetapi sebenarnya dia tidak merasakan apa yang
menjadi penderitaan wanita yang secara terpaksa menjadi seorang pelaku
prostitusi
V.
KESIMPULAN
Posisi wanita
prostitute didalam masyarakat yang memandangnya sebagai wanita yang “tidak
baik” ada dua, yaitu wanita yang memilih sebagai prostitute dan terpaksa
menjadi prostitute. Wanita yang memilih dirinya sebagai prostitute, berarti dia
secara sadar mengetahui bahwa dirinnya bisa mengobjekan laki-laki. Sedangkan
wanita yang terpaksa menjadi prostitute adalah wanita yang mengalami banyak
tindak kalkulasi kekerasan, seperti kekerasan kekuasaan, seksual, dan
psikologis. Wanita yang terpaksa ini tidak bisa membuat dirinya menjadi subjek,
bahkan dia menjadi objek dari laki-laki, baik dia germo ataupun yang
membayarnya sebagai prostitute.
Wanita yang
memilih dirinya sebagai prostitute untuk mengeksiskan diri di dunia, sebenarnya
secara tidak sadar mereka juga menjadi faktor munculnya kekerasan terhadap
perempuan. Semakin banyak wanita yang memilih menjadi prostitute berarti
semakin banyak angka “permintaan” terhadap wanita panggilan. Ini akan membuka
peluang bagi germo yang hanya memikirkan uang dari “komoditas tubuh wanita”,
sehingga germo dengan berbagai cara melakukan trik dan penipuan untuk bisa
mendapatkan wanita yang diinginkan. Hingga akhirnya semakin banyak wanita yang
terpaksa menjadi prostitute akibat penipuan. Motif ekonomi adalah hal utama
yang mendasari dilakukanya keterpaksan menjadi prostitute. Melihat wanita yang
memilih dirinya menjadi prostitute mudah mendapatkan uang, akhirnya muncul
keinginan pula untuk melakukan prostitusi, dan mereka terpaksa terjerumus dalam
prostitusi hingga tidak bisaa keluar dari dunia itu.
Pemerintah
seharusnya sadar bahwa masalah prostitusi bukanlah hanya pada masalah wanita
yang tidak beragama dan tidak bermoral, akan tetapi lebih pada lapangan
pekerjaan yang tidak berpihak pada wanita. Sarana, prasarana, dan fasilitas yang tidak memadai bagi
perempuan, membuat mereka yang terpaksa condong untuk menjadi wanita
prostitute. Penyuluhan , pengadaan kursus gratis, dan dibukanya lapangan kerja
yang baru dan layak bagi perempuan adalah solusi, bukanya menutup lokalisasi di
bulan ramadhan atau malah memblokir facebook.
Disusun oleh: Nisa Abroro
DAFTAR
PUSTAKA
Hidayat,Rachmad. 2004. Ilmu yang Seksis. Yogyakarta:
Penerbit Jendela
Murniati, A.Nunuk.P. 2004. Getar Gender. Magelang : Indonesiatera
Rodrigues, Marta. Dkk. 2007. Feminisme untuk Pemula. Yogyakarta : Resist Book
Sihite, Romany. 2007. Perempuan, Kesetaraan, Keadilan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Tong, Rosemarie Putnam. (1989)(Terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro). Feminist
Thought: Perngantar Paling
Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis.
Yogyakarta: Jalasutra
[2] Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan , Keadilan , hal 200
[8]
Feminisme untuk Pemula. 2007
[9]
Romany Sihite. Perempuan, kesetaraan, keadilan 2004, hal 208
Tidak ada komentar:
Posting Komentar